Pages

Selasa, 12 April 2011

BERBAGI KISAH


               PESAWAT RAHASIA

Gadis kecil bernama Michelle Cancera Angelita yang sering dipanggil Ichel itu langsung lesu begitu teringat akan jadwal kerja bakti yang menimpa kelas limanya. Melihat ke arah sapu-sapu lidi yang menanti di hadapannya. Ia dan saudara kembarnya yang akrab dipanggil Reira serasa harus mulai membangkitkan semangat paginya lagi karena harus melewati sekumpulan anak laki-laki kelas enam yang terus menerus mengejek mereka.
            “Rei, sepertinya kita perlu mempercepat langkah kita karena kumpulan kakak kelas yang nyebelin itu mulai lagi.”
            Perjuangan Ichel dan saudara kembarnya itu tidak sia-sia. Mereka bisa melewati mereka semua dan sampai ke ruang kelas. Meski pun mereka sadar kalau besok pagi harus mengulangi perjuangan itu kembali. Gadis kecil itu segera meletakkan tas gendongnya di bangku biasa mereka duduki.
            “Pekerjaan rumah untuk hari ini hanya matematika saja, kan?”, tanyanya kepada teman sebangkunya, Cici.
            “Iye lah. Aku sih mingga matematika je”, jawabnya.
            Perbincangan itu terputus ketika bel tanda masuk berdering.
            “Cepatlah, bel lah bebunyi. Kalau tak cepat kita tak dapat sapu.”
            Betapa pun lesunya, bagaimana pun malasnya ia tetap harus mengambil sapu dan memulai harinya dengan tersenyum. Daun-daun kering dan segala sampah yang ada di hadapannya harus mulai ia sapu. Sapu. Sapu. Dan sapu.
            “Yeah, kerja baktinya sudah selesai. Akhirnya, aku bisa masuk ke kelas.”
            “Cepatlah anak-anak. Masuk ke ruang kelas masing-masing”, kata seorang ibu guru baik hati di sekolah baru Michelle.
            Senyuman manis dari bibir gadis kecil itu turut menghiasi wajahnya selama menuju ke ruang kelas. Seperti kebiasaan di SD lamanya, sebelum masuk menyusun barisan terlebih dahulu. Ia mulai mengikuti barisan teman-temannya yaitu barisan dua berbanjar.
            “Siap grak!”, instruksi sang ketua kelas, Bonzheng kepada anggota kelasnya.
            Satu persatu anak-anak masuk ke ruang kelas. Memang, murid dalam kelas itu hanya sedikit yaitu dua puluh dua siswa yang terdiri dari sepuluh siswa laki-laki dan dua belas siswa perempuan.
            Tak lama bel pelajaran dibunyikan, seorang guru mata pelajaran Ilmu pengetahuan Alam (disingkat IPA) memasuki kelas lima. Sang ketua kelas kembali memberi instruksi kepada anggota-anggotanya.
            “Siap grak!”
            Semua siswa segera berdiri, termasuk Michelle dan saudara kembarnya.
            “Beri salam!”
            “Selamat pagi, Bu.”
            Suara salam yang indah itu menghiasi ruangan kelas lima. Alunan itu pun usai dan Ichel langsung kembali menuju ke posisi duduknya.
            Pelajaran pun dimulai. Setiap anak menyiapkan alat-alatnya masing-masing. Seperti gadis kecil itu yang mengeluarkan sebuah buku tulis berwarna kuning dan sebuah tempat pensil berwarna pink dari tas strawberrynya itu.
            Ibu guru sudah siap mendiktekan bukunya. Itu karena setiap murid tidak perlu membeli buku materi karena setiap buku telah dipinjamkan dari sekolah. Namun terkadang  beberapa guru lebih suka hanya mendiktekan bacaan yang tertulis dalam bukunya.
            “Sebentar, Bu”, kata seorang murid dalam kelas itu.
            Hah. Tulis. Tulis. Tulis. Tak ada yang bisa gadis kecil itu lakukan selain menulis. Buku catatannya sudah habis lebih dari tiga halaman untuk ditulisi.
            Pelajaran pertama itu pun usai.
            “Tak ada yang spesial hari ini”, Pikir gadis kecil itu. 
            Tiba-tiba, guru killer itu datang, guru matematika.
            “Matilah aku kalau tak kerjakan PR”, kata Michelle dalam hati.
            Guru itu segera memasuki ruang kelasnya. Sorot matanya yang tajam membuat setiap anak yang melihatnya tak bisa berulah.
            “Siap grak!”
            Semua siswa segera berdiri kembali.
            “Beri salam!”
            “Selamat pagi, Bu.”
            “Ya, duduk kembali”, balas guru killer itu.
            Michelle dan teman-temannya segera mengeluarkan pekerjaan rumahnya tanpa banyak bicara.
            “PR yang kemarin lah tak beri, kerjakan di depan. Sambil kita koreksilah bareng-bareng.”
            Sekertaris kelas itu, Tari menampakkan wajahnya di depan kelas pertama kali. Tubuhnya gemetaran sambil menulis soal tersebut satu persatu.
            Murid-murid di kelas itu mulai satu persatu. Beberapa anak maju ke depan dengan menampakkan wajah-wajah takutnya. Tak lama gadis kecil itu memalingkan wajahnya dari papan tulis, seorang temannya dilempar penghapus papan tulis.
            “Urrgh, pasti sakit”, pikir Michelle sambil memegang pipinya (seperti merasakan).
            Hah, tiba saatnya gadis kecil itu maju ke depan untuk mengerjakan soal.
            Ketika anak perempuan itu maju ke depan, seorang anak laki-laki bertubuh kecil bertanya kepada guru matematika itu.
            “Bu, kalau tak pakai cara salah tak?”
            “Ya, salah.”
            Saat itu pula, Ichel menyadari bahwa mungkin itu pekerjaannya.
            “Hah, salah. Mungkinkah seluruh jawabanku salah?”, tanyanya dalam hati.
            Pekerjaan papan tulis selesai. Nilai dari semua PR anak kelas lima dibacakan. Waw, ada lima soal. Ada yang memperoleh nilai empat, enam, dan lain-lain. Saudaranya, Reira memperoleh nilai delapan, jawabannya salah satu. Hatinya dag dig dug, resah tak tertahankan.
            Saat itu pun tiba, sang killer membacakan hasil pekerjaan gadis kecil itu.
            “Michelle, ENOL. Ya, itu karena tidak pakai cara ya.”
            “What’s, bisa-bisanya. Ternyata memang itu punyaku”, keluhnya dalam hati.
             Setelah pembacaan nilai yang membuat Ichel cukup kesal, tumpukkan buku PR matematika dibagi. Setiap anak membuka bukunya. Namun, tetap saja tak terdengar satu suara pun dalam ruangan itu.
            “Hah, kalau boleh tak pakai cara, aku bisa dapat sepuluh. Kenapa sih gak boleh gak pakai cara? Sialnya hari ini. Bukan tak ada yang spesial, tapi sial yang menghampiriku.”
            Michelle melanjutkan pelajarannya. Untung, pelajaran killer itu sudah usai. Para anak laki-laki di sebelah barat kelas terus menatapi Michelle karena kejadian tadi. Kebetulan ini jam istirahat, Michelle bisa menghindar dari tatapan tajam kumpulan tiga anak laki-laki itu dan keluar sebentar menghirup udara segar.
            Waw, nampaknya gadis-gadis kelas Michelle sedang berkumpul. Rupanya, mereka semua sedang membicarakan urusan wanita. Tak lama dari perbincangan itu, Fifi, anak juragan sapi di Belitung mentraktir siomay senilai seribu rupiah. Senangnya Michelle, Reira, dan teman-temannya.
            “Terima kasih, ya Fi. Baik sekali kau”, gombalan Yance, sebutan untuk teman Michelle.
            Siomay kemudian mie. Warung mie ini menjual mie seribuan dengan kuah udang dan kaldu sapi. Itulah yang biasa dibeli oleh Michelle dan teman-temannya. Namun, masih banyak menu lain yang tersedia di warung mie ini. Penjualnya, Mak Mien selalu baik pada para pembelinya. Hidangan ini ditutup dengan es cincau lima ratusan terbaik. Segar.
            “Woi, bel lah bebunyi. Cepat, yo kawan kita kembali ke kelas”, peringatan dari Yance kepada kawan-kawannya.
            Bahasa Indonesia, setelah matematika, bahasa Indonesia. Setiap anak membuat karangan pengalaman yang dilaluinya selama liburan, termasuk gadis kecil itu.
            Banyak yang ia tulis dalam buku tulisnya. Hal-hal menarik, seperti pergi ke Dufan, naik pesawat, mandi di danau, dan masih kegiatan menarik lainnya cukup mengisi karangannya.
            “Yes, karanganku selesai, akan aku kumpulkan.”
            “Waktunya habis lah, cepat lah mika kumpulkan buku tulisnye”, perintah ibu guru kepada murid-murid kelas lima itu.
            “Karangan kau lah selesai lum?”, tanya seorang teman Ichel.
            “Sudah, ayo kita kumpulin.”
            Buku-buku tugas bahasa Indonesia tertumpuk rapi di meja guru tak lama setelah sang guru memberikan instruksinya. Kring. Kring. Kring. Bel pelajaran usai. Sang ketua kelas menginstruksikan salamnya kembali.
            Tibalah waktu pelajaran terakhir. Guru tak saja masuk ke ruang kelas itu. Ruang kelas itu gaduh, pesawat-pesawatan kertas berwarna putih dari sobekan buku tulis yang beterbangan mengisi pemandangan dalam ruangan itu.
            Set. Satu pesawat berlogo cinta menuju ke arah gadis kecil itu. Cinta bertinta pink yang berkerlip ada di pesawat itu. Michelle kira itu hanya pesawat-pesawatan yang salah lempar atau pesawat-pesawatan biasa yang tidak berarti.
            “Hah…?”, begitu terkejutnya gadis kecil itu setelah mencoba untuk membukanya.
            Ternyata, di kertas itu tertulis
Pesawat Cinta
Yoyo  
&
Ichel
            “Ajib banget, berani banget ngirimin itu ke aku.”
            “Sungguh, hari yang aneh”, pikir Ichel dalam hati.
            Hal itu membuat Ichel tak bisa berkutik. Tak ada yang bisa ia lakukan dan katakan. Hanya ada satu rasa yaitu kaget, kaget, dan kaget. Anak laki-laki yang namanya tertulis dalam kertas itu, Yoyo dan teman-temannya terus memandangi gadis kecil itu. Padahal, Yoyo itu adalah pengoreksi matematikanya. Mungkinkah hanya perasaan bersalah atau apa?
            Gadis kecil itu tak habis pikir. Dari pelajaran terakhir bermulai sampai pelajaran itu berakhir ia masih memikirkan pesawat cinta itu. Bel tanda pelajaran usai pun berbunyi. Semua anak memasukkan buku kewarganegaraannya ke dalam tasnya. Hal yang sama dilakukan Michelle yang memasukkan bukunya ke dalam tas gendongnya.
            Sampai salam terakhir dari Bonzheng, sampai keluar kelas ia masih bingung dan rasa kagetnya belum berkurang sedikit pun.        

1 komentar:

Dianita Susilo Saputri mengatakan...

Ichel...

Posting Komentar